Dzikrullah Untuk Fanafillah

Dzikrullah adalah Jalan untuk wushul kepada Allah (fanafillah).

Allah berfirman; “Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut) Nama Allah, dzikir dengan sebanyak-banyakya.” (Q.S.33, Al Ahzab: 41)

Rasulullah saw. bersabda; “Tanda cinta Allah adalah menyukai dzikrullah (dzikir kepada Allah). Dan tanda kebencian Allah adalah membenci dzikrullah azza wajalla.” (HR. Baihaqi)

Rasulullah saw. bersabda; “Allah ta’ala berfirman, Aku bersama hamba-Ku apabila ia menyebut nama-Ku.” (HR. Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Ibnu Hiban)

Rasulullah saw. bersabda; “Sesungguhnya Allah berfirman,’Aku bersama hamba-Ku, jika ia ingat (menyebut) Aku. Dan kedua bibirnya bergerak karena Aku.” (HR. Al-Hakim)

Rasulullah saw. bersabda; “Akan selalu ada di antaramu orang-orang yang mengingat Allah seraya duduk di atas hamparan-hamparan, sehingga mereka dimasukkan ke dalam martabat yang tinggi.” (HR. Ibnu Hiban)

Fanafillah dan Baqabillah hanya dapat dicapai dengan dzikrullah, tetapi semuanya itu harus mengambil bai'ah kepada guru yang arif billah yang tariqahnya bersilsilah sampai kepada Rasulullah saw.

Menurut wali Allah Syeikh Ibnu Atha’illah, sebagai tanda bahwa sebuah dzikir sampai pada sirr (nurani terdalam pada jiwa yang kelak menjadi tempat cahaya penyaksian) adalah saat pendzikir dan objek dzikirnya lenyap tersembunyi. Dzikir sirr terwujud ketika seseorang telah terliputi dan tenggelam di dalamnya. Tandanya, apabila engkau meninggalkan dzikir tersebut, ia takkan meninggalkanmu. 

Dzikir tersebut terbang masuk ke dalam dirimu untuk menyadarkanmu dari kondisi tidak sadar kepada kondisi hudhur (hadirnya kalbu). Salah satu tandanya, dzikir itu akan menarik kepalamu dan seluruh organ tubuhmu sehingga seolah-olah tertarik oleh rantai. Indikasinya, dzikir tersebut tak pernah padam dan cahayanya tak pernah redup. Tetapi, engkau menyaksikan cahayanya selalu naik turun, sementara api yang ada di sekitarmu sentiasa bersih menyala. 

Dzikir yang masuk ke dalam sir terwujud dalam bentuk diamnya si pelaku dzikir seolah-olah lisannya tertusuk jarum. Atau, semua wajahnya adalah lisan yang sedang berzikir dengan cahaya yang mengalir darinya. Ketahuilah, setiap dzikir yang disadari oleh kalbumu didengar oleh para malaikat penjaga. Sebab, perasaan mereka beserta perasaanmu. Di dalamnya ada sirr sampai saat dzikirmu sudah gaib dari perasaanmu karena engkau sudah sirna bersama Tuhan, dzikirmu juga gaib dari perasaan mereka.

Sebagai kesimpulan tentang tahapan dzikir, Ibnu Atha’illah mengatakan, berdzikir dengan ungkapan kata-kata tanpa rasa hudhur disebut dzikir lisan, berdzikir dengan merasakan kehadiran kalbu bersama Allah disebut dzikir kalbu, sementara berdzikir tanpa menyadari kehadiran segala sesuatu selain Allah disebut dzikir sirr. Itulah yang disebut dengan dzikir khafiy. Rezeki lahiriah terwujud dengan gerakan badan. Rezeki batiniah terwujud dengan gerakan kalbu, rezeki sirr terwujud dengan diam, sementara rezeki akal terwujud dengan fana dari diam sehingga seorang hamba tinggal dengan tenang untuk Allah dan bersama Allah. Nutrisi dan makanan bukanlah konsumsi ruhani, melainkan konsumsi badan. 

Adapun yang menjadi konsumsi ruhani dan kalbu adalah mengingat Allah Dzat Yang Maha Mengetahui segala yang gaib. Allah berfirman; “Orang-orang beriman dan kalbu mereka tenteram dengan mengingat (dzikir kepada) Allah.” Semua makhluk yang mendengarmu sebenarnya juga ikut berdzikir bersamamu. Sebab, engkau berdzikir dengan lisanmu, lalu dengan kalbumu, kemudian dengan nafs-mu, kemudian dengan ruhmu, selanjutnya dengan akalmu, dan setelah itu dengan sirrmu. Jika engkau berdzikir dengan lisan, pada saat yang sama semua benda mati akan berdzikir bersamamu. Jika engkau berdzikir dengan kalbu, pada saat yang sama alam beserta isinya ikut berdzikir bersama kalbumu. Jika engkau berdzikir dengan nafs-mu, pada saat yang sama seluruh langit beserta isinya juga turut berdzikir bersamamu. 

Jika engkau berdzikir dengan ruhmu, pada saat yang sama singgasana Allah beserta seluruh isinya ikut berdzikir bersamamu. Bila engkau berdzikir dengan akalmu, para malaikat pembawa arasy dan ruh orang=orang yang memiliki kedekatan dengan Allah juga ikut berdzikir bersamamu. Bila engkau berdzikir dengan sirrmu, arasy beserta seluruh isinya turut berdzikir hingga dzikir tersebut bersambung dengan Dzat-Nya.” (Miftah al-Falah wa Misbah).

Al Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya

Wassalam.

Salam Makrifatullah.

Mati Sebelum Mati

 Ada satu perintah dari Nabi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yaitu; “Matilah sebelum mati”, Juga ada dalam sebuah hadist Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda; "Matikan dirimu sebelum engkau mati".  

Jalan untuk bertemu Allah ialah mematikan diri, Maksud dari mematikan diri disini bukan mati meninggalkan dunia ini tetapi mati yang dimaksudkan ialah mati maknawi. Jadi yang dimaksudkan disini ialah upayakanlah dalam kehidupan ini ruh (ruhani) kita terbebas dari pengaruh jasmani, tidak terkukung oleh jasmani atau tidak terkukung oleh hawa nafsu. Upayakanlah ruh (ruhani) kita mengendalikan hawa nafsu bukan hawa nafsu yang mengendalikan ruh (ruhani) kita.

Nabi Rasulullah memerintahkan untuk memfanakan diri ialah agar nantinya bisa sampai kepada Allah (washil illallah), Karena itu ketahuilah bahwa hanya dengan cara inilah manusia baru sampai kepada Allah. Ini adalah perintahnya Nabi Rasulullah maka fardhu 'ain lah hukumnya.

Hadist ini adalah perintah dari Nabi Rasulullah yang sarat dengan makna, perintah Rasulullah tersebut ialah untuk memfanakan diri (mematikan diri) yaitu meleburkan diri jasmani menuju diri ruhani, sehingga nantinya dengan diri ruhani kita dapat bertemu Allah.

Firman Allah dalam hadist qudsinya yang berbunyi : ”Sesungguhnya hamba Aku, bila Aku sayang padanya Aku matikan dia, Akulah yang menggantikannya.''

Maksud mati disini juga sama ialah mati maknawi yaitu atas izin Allah lebur (fana) diri jasmani dan diri ruhani kepada diri yang Haq yakni Allah Ta'ala, Jadi yang dimaksudkan disini ialah keadaan pada fana fi Af'al, fana fi Asma, fana fi Sifat, dan fana fi Dzat.

Caranya adalah berdzikir karena dzikir adalah penyambung rasa cinta kepada Allah, Berdzikirlah hingga fana jasad dan hati itu kepada Ruh, tetapi janganlah berhenti disini saja lanjutkanlah hingga Ruh itu fana (lebur) pula menjadi Nur, dan Nur itu lenyapkan pula kepada Rahasia Allah.

Setelah fana diri yang lahir dan sifatnya, dikala itu tidak ada yang ada kecuali diri bathin. Kemudian diri bathin pun fana pula kepada Allah. Jika sudah mantap pada maqam fanafillah ini selanjutnya adalah maqam tertinggi yaitu maqam baqabillah, apabila sudah lenyap dan fana segala sesuatu yang lain daripada Allah Ta’ala yaitu 'alam/mahkluk (diri kita juga termasuk 'alam/mahkluk) maka tidak ada sesuatu selain Allah maka tercapailah makam baqabillah. Setelah fana yang selain daripada Allah Ta'ala maka setelah itu tidak ada sesuatu kecuali Allah Ta'ala, Inilah maqam baqabillah.

Seseorang yang berada di maqam ini sudah mengenal Allah dengan Allah, Maqam ini ialah maqam tajalli (nampak), Sehingga seseorang yang berada di maqam ini akan menyaksikan bahwa yang ada hanya Allah, mereka tidak lagi melihat adanya yang selain Allah. 

Demikianlah perjalan ruhani seorang hamba hingga bertemu Allah Ta'ala, setelah melewati fana dan fana ul fana, mereka tidak lagi melihat adanya sesuatu yang selain daripada Allah Ta'ala yang mereka saksikan hanya Allah Ta'ala saja yang ada. 

Suatu saat amirul mukminin Sayyidina Ali bin Abi Thalib ditanya, "Dengan apa engkau mengenal Tuhanmu?"

Beliau menjawab, "Dengan cara Dia mengenalkan diri-Nya kepadaku"

Sayyidina Ali ditanya lagi, "Bagaimana Dia mengenalkan diri-Nya kepadamu"? 

Sayyidina Ali menjawab, "Dia tak menyerupai suatu bentuk dan Dia tak dapat dirasakan dengan indera dan Dia tak boleh dikiaskan dengan manusia.'' 

Dia dekat dalam kejauhan-Nya dan Dia jauh dalam kedekatan-Nya. Dia berada di atas segala sesuatu dan tidak dapat dikatakan sesuatu berada di atasnya. 

Dia di depan segala sesuatu tetapi tidak dapat dikatakan Dia memiliki depan (wajah). Dia di dalam segala sesuatu tetapi tidak seperti sesuatu yang berada dalam sesuatu. Dan Dia berada di luar sesuatu tetapi tidak seperti sesuatu yang keluar dari sesuatu. 

Maha Suci Dia yang seperti ini dan tidak ada yang seperti ini selain-Nya. Dan segala sesuatu itu ada permulaannya.

Syeikh Ibnu Athaillah berkata: ''Diri kita adalah tempat tajalli sifat ketuhanan, karena itu siapa yang kenal akan diri, dia akan mengenal Tuhannya. Siapa yang kenal Tuhannya, hilanglah dirinya. Maka timbullah kenal Allah dengan Allah.'' 

Wassalam.

Salam Makrifatullah.

Postingan Populer

Postingan Lainnya

Mari Menemui Allah

Nabi Muhammad ( Rasulullah)   bersabda bahwa Allah berfirman: “Apabila hamba-Ku ingin menemui-Ku, Akupun ingin menemui-nya dan bila ia engga...